KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya
milik Allah SWT. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah
SAW. Berkat limpahan
dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Agama Islam.
Agama sebagai sistem
kepercayaan dalam kehidupan
umat manusia dapat
dikaji melalui berbagai
sudut pandang. Islam
sebagai agama yang
telah berkembang selama
empat belas abad
lebih menyimpan banyak
masalah yang perlu
diteliti, baik itu
menyangkut ajaran dan
pemikiran keagamaan maupun
realitas sosial, politik,
ekonomi dan budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi
ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang kaitan ikhlas
beramal, niat, dan istiqomah berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Saya sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jau dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya
meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah
saya di masa
yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca.
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN
SAMPUL
KATA
PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR
ISI.............................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN.........................................................................................
A.
IKHLAS DALAM BERAMAL......................................................................
B.
KEDUDUDKAN NIAT DALAM BERAMAL..............................................
C.
ISTIQOMAH...................................................................................................
BAB
II PENUTUP....................................................................................................
Kesimpulan.............................................................................................................
BAB
III DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Ikhlas
Dalam Beramal
Ikhlas dalam beramal ibadah dan amal shaleh adalah melakukan suatu amal
kebaikan, dan dalam melaksanakannya ditujukan semata-mata untuk Allah. Al Quran
menyuruh kita ikhlas. Perhatikan firman-Nya sbb :
÷br&ur óOÏ%r&
y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9
$ZÿÏZym wur
¨ûsðqä3s? ÆÏB
úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÊÉÎÈ
”dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada
agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
musyrik”. (QS Yunus [10]: 105).
Rasulullah SAW mengingatkan, Allah tidak menerima amal kecuali apabila
dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata. (HR Abu Dawud dan
Nasa�i). Imam Ali ra juga berkata,
Orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal
diterima oleh Allah.
Kendati bersimbah peluh, menghabiskan tenaga, menguras pikiran, kalau
tidak ikhlas, sebesar apa pun amal, sia-sia di mata Allah. Maka, sangat rugi
orang yang sedekah habis-habisan hanya ingin disebut dermawan.
Ikhlas berarti kita tidak memanggil siapa pun selain Allah SWT untuk
menjadi saksi atas perbuatan kita.
Ikhlas akan membuat jiwa menjadi independen, merdeka, tidak dibelenggu
pengharapan akan pujian, tidak haus akan imbalan. Hati menjadi tenang karena ia
tidak diperbudak penantian mendapat penghargaan ataupun imbalan dari makhluk.
Penantian adalah hal yang tidak nyaman, menunggu pujian atau imbalan adalah hal
yang dapat meresahkan, bahkan bisa mengiris hati bila ternyata yang datang
sebaliknya.. Orang yang tidak ikhlas akan banyak menemui kekecewaan dalam
hidupnya, karena orang yang tidak ikhlas banyak berharap pada makhluk yang
lemah.
Imbalan dari manusia tidak ada apa-apanya dibanding imbalan dari Allah
SWT.
Perhatikan
firman Allah SWT di surah An-Nisa [4] ayat 146 :
wÎ) úïÏ%©!$#
(#qç/$s? (#qßsn=ô¹r&ur
(#qßJ|ÁtGôã$#ur «!$$Î/
(#qÝÁn=÷zr&ur óOßgoYÏ
¬! Í´¯»s9'ré'sù
yìtB úüÏZÏB÷sßJø9$#
( t$ôqyur ÏN÷sã
ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$#
#·ô_r& $VJÏàtã
ÇÊÍÏÈ
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikandan
berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka
karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak
Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. Subhaanallah, adakah yang lebih berharga
dari pemberian Allah?
Namun dalam kehidupan ini, kadang kita memang menemukan kenyataan, kalau ternyata
amal ibadah atau amal kebaikan yang kita lakukan dengan sembunyi-sembunyi dan
tidak diketahui orang lain, ternyata justru kadang jadi mengundang, fitnah,
gosip, omongan yang tidak enak tentang kita. Mungkin karena orang lain tidak
tahu kalau sebenarnya kita ini sudah melakukan amal shaleh, amal kebaikan
seperti sedekah, tapi kita menyembunyikannya karena Allah. Maka karena
ketidaktahuannya, orang-orang akan menilai kita ini sebagai orang yang pelit,
tidak mau sedekah, tidak mau beramal saleh.
Untuk masalah seperti ini, sebaiknya jangan kita pedulikan omongan orang
pada kita. Tetap saja jaga kerahasiaan amal kebaikan kita. Jangan pedulikan
pandangan orang, cukup puas saja dengan pandangan Allah terhadap kita. Dan
masalah omongan atau di gunjingkan yang tidak2, yang mungkin mengatakan kita
itu pelit, kikir dan sebagainya, kita serahkan semua pada Allah.
Dalam beramal saleh atau berbuat kebaikan, seperti sedekah dan lainnya,
sebaiknya kita benar-benar merasa cukup hanya allah saja yang menjadi saksi dari
apa yang kita lakukan, Dan yang tidak
kalah penting, jangan sampai kita
terjebak riya yang samar, seperti merasa bangga apabila kita sudah berhasil
menyembunyikan amal kebaikan kita, kalau kita seperti itu, maka hancurlah amal
kita.
Dalam melakukan setiap amal kebaikan, yang paling mendasar yang perlu
dipahami adalah, bahwa segala amal kebaikan yang kita lakukan, itu bukanlah
atas kemampuan kita sendiri, tapi itu adalah karena bantuan, pertolongan dan
ijin Allah. Dengan memahami hal tersebut diatas, Insya Allah kita bisa
memperbaiki amal ibadah kita dengan ikhlas, selamat dari berbangga diri karena
telah berhasil melakukannya. Dan InsyaAllah bisa selamat dari riya. Serta Insya
Allah, bisa melindungi kita dari keinginan mengungkapkan amal kebaikan kita dihadapan
mahluk, apabila kita mendapati kenyataan diri kita digosipkan, dinilai sebagai
orang yang enggan beramal kebaikan, karena kita ikhlas, maka kita menyerahkan
semua pada Allah SWT.
B. KEDUDUKAN
NIAT DALAM BERAMAL
Hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ العُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِي بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ
القُرشِيِّ العَدَوِيِّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - ، قَالَ : سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ
- صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ - ، يقُوْلُ : (( إنّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ،
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ .
رَوَاهُ إمَامَا الْمُحَدّثِينَ ، أبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بْنُ إسْمَاعِيْلَ
بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ المُغيرَةِ بنِ بَرْدِزْبَهْ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ ،
وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلمٍ الْقُشَيْرِيُّ
النَّيْسَابُوْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِي صَحيِْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ
هُمَا أَصَحُّ الكُتبِ الْمُصَنَّفَةِ. (مُتََّفَقٌ عَلَيْهِ).
Arti Hadits / ترجمة الحديث
:
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
Hanyasanya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan hanyasanya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena
(ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori
(Bukhari) dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An
Naishaburi (Muslim), dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling
shahih yang pernah dikarang) .
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan,
“Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu
syar’i.” Hadits ini merupakan salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad
dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.”
Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri
dari niat dalam hati, ucapan dan tindakan.
Asbabul Wurud
:
Ada
seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi
seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan
keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi
Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Penjelasan
hadits :
1.
إنّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “Hanyasanya
Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”
Berdasarkan ilmu balaghah lafadz “إنّمَا” merupakan salah satu lafadz yang
berfungsi الحصر yaitu pembatas. Pembatasan disini mengharuskan setiap amalan
dilandasi dengan niat.
Definisi Amal الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan
seorang mukallaf (yang terbebani). Maksud amal dalam hadits tersebut adalah
segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, amalan
hati, dan amalan anggota tubuh sesuaio syari’at, sehingga setiap amal yang
disyari’atkan dan dilaksanakan tanpa niat, maka tidak ada nilainya menurut
agama islam. Dengan demikian shalat, shaum, wudlu dan seluruh ibadah yang
lainnya tidaklah bernilai ibadah (tidak sah) tanpa adanya niat.
Definisi niat النِّيَّاتِ adalah keinginan dan kehendak hati untuk melakukan sesuatu, dan
tempatnya adalah di hati, karena niat adalah amalan hati, maka niat tidak boleh
diucapkan dengan lisan. Maka niat yang dimaksud dalam hadits ini adalah
keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai
pengharapan untuk mendapatkan wajah (ridha) Allah. Oleh karena itu makna niat
ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan
terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman
Allah (QS. Ar Ruum: 38):
لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُون
َ “Itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah
orang-orang beruntung.”
(QS. Al Lail:
20):
إِلا ابْتِغَاءَ
وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى
“Tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.”
Sehingga lafadz
niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة,
lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah
kepada Allah.
Para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1.
Niat yang berkaitan dengan ibadah itu
sendiri, niat sebagai syarat sahnya ibadah. Nia dengan pengertian semacam ini
sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika
mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat
pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” yaitu niat yang berkaitan dengan
zat ibadah itu sendiri, sebagai syarat sahnya ibadah sehingga dapat dibedakan
dengan ibadah yang lain. Contoh niat shalat dan wudlu akan berbeda.
2.Niat yang berkaitan
dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) sebagai syarat diterimanya
ibadah, atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal
hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini.
Niat memiliki 2
fungsi:
1.Niat itu berfungsi
untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan (rutinitas). Contohnya
: seseorang makan karena lapar untuk memenuhi kebutuhan perut, dan seseorang
yang makan karena berlandaskan perintah Allah “makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” (al A’raaf : 31). Dari contoh diatas, maka orang yang pertama
makan karena kebiasaan dan orang yang kedua makan menjadi ibadah karena
memenuhi perintah Allah.
2.Niat itu berfungsi
untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
Contoh : seseorang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat sholat
sunnat, seseorang yang yang lain dua rakaat dengan niat sholat wajib. Maka
kedua amalan tersebut dibedakan dengan niat tersebut.
Amalan apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya terbagi dua :
Pertama,
amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah (ridha) Allah dan
tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini
terdapat di sebagian besar perkara ibadah.
Kedua,
perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan denganmmenyebutkan
ganjarannya didunia, sepertimmenyambung kekerabatan sebagaimana
Sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam "Barang siapa yang ingin
diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung
kekerabatan."(HR. Bukhari nomor 1925, 5526)
Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam "Barang
siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi
miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad
Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199).
Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai
penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang
mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah
Allah), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya kecuali Allah telah
mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung
kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar
mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang.
Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada
Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai
syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan
menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung
kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar
pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan
dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya, para ulama salaf di
antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau
menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk
mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya
berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada
kepada Allah, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Maka maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات
adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat
yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna
mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah semata.
2. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى “Dan hanyasanya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”.
Maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia
kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya. Bisa jadi, suatu perkara
–yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang
meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya
untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena
itu, Nabi bersabda,
“Makan sahurlah,
sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan
oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash
Shiyam/1095/Abdul Baqi])
3. Siapa
yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ،
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “
Makna Hijrah secara bahasa meninggalkan. Secara syariat adalah
meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Pada dasarnya, tujuan berhijrah
adalah berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas, mengharapkan pahala
di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam
yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.
Dalam islam
hijrah ada Tiga macam :
1.Berpindah dari negara
kafir (syirik) kepada negara islam (tauhid), sebagaimana hijrahnya para sahabat
dari Makkah ke Madinah. Hukumnya di bagi menjadi dua :
Wajib : jika seseorang tidak mampu melaksanakan agamanya.
Mustahab : jika seseorang dapat menjalankan agamanya.
2.Berpindah dari negara
yang diliputi ketakutan kemaksiatan kepada negara yang aman, sebagaimana
hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Habasyah
3.Meninggalkan negeri
bid’ah menuju negeri sunnah. Yaitu Berhijrah dari segala yang dilarang oleh
Allah Azza wa Jalla, sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam Bukhori dari
hadits Abu Nu’aim, Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam : seorang yang
berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.
Amal hijrah ini terus berlaku hingga akhir zaman, sebagaimana hadits yang
dikeluarkan Imam abu daud dari hadits muawiyah rhodhiallahu’anhu, Rasulullah
sholallahu’alaihi wasallam : tidaklah terputus hijrah sampai terputus taubah,
dan tidaklah terputus taubat sampai matahari terbit dari arah barat.
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wasallam memberikan
perumpamaan suatu amalan yang dikerjakan dengan mengharap wajah Allah (ikhlas
lillahi Ta’ala) dan amalan yang dikerjakan dengan mengharap kepada selain
Allah, amalan tersebut adalah Hijrah.
Sebagian manusia berhijrah menginggalkan tempat tinggalnya ikhlas
mengharap ridho Allah, maka hijrah ini dinilai suatu amalan yang mendapat
balasan sempurna, dan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan. Sebagian
manusia berhijrah karena tujuan dunia, barang siapa berhijrah dari negara kafir
ke negara muslim karena uang, atau karena wanita yang hendak ia tuju, maka
hijrahnya tidak karena Allah, maka rasul bersabda : maka hijrahnya sesuai
dengan apa yang di tuju.
Yang tersirat dalam hadits ini juga adalah Ancaman dan peringatan akan
fitnah dunia dan wanita. Allah ta’ala berfirman :"Hai manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu)
seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula)
menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka
janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula)
penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.".
Dikeluarkan Imam Bukhori dan Muslim dalam kedua kitabnya shohih dari
sahabat Abu sa’id al khudry rhodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam bersabda : sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian
sesudahku adalah dibukanya kekayaan dunia.
Hadits dari Abu sa’id yang dikeluarkan Imam muslim, Rasulullah
sholallahu’alaihi wasallam bersabda : takutlah kalian akan fitnah dunia dan
fitnah wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani israil adalah wanita.
Wallahu'alam.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / الفوائد
من الحديث :
Niat merupakan syarat syah/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan
amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (Niat
Ibadah., karena Allah dan mengikuti perintah Allah.).
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas
dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal
shalih dan ibadah. Karena amal tidaklah diterima kecuali dengan dua syarat :
yaitu ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan mengikuti (sesuai sunnah)
Rasul shallallahu’alaihi wasallam, sebagaiman hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha
((barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada contohnya (sebagaimana
dicontohkan rosul) maka amalnya tertolak).
Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua
perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari
keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Karena yang membedakan antara
ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena
dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah
adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
C. ISTIQOMAH
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ
خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya mereka yang berkata: “Rabb kami adalah Allah”,
kemudian mereka beristiqomah, maka tak ada baginya rasa takut dan duka cita.
Meraka adalah penghuni syurga kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa-apa
yang mereka perbuat”. (Qs. Al Ahqaaf/46:13-14).
Setiap muslim sadar, bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan untuk tujuan
ibadah kepada Allah. Ibadah dalam arti yang sebenarnya. Yakni, mengikhlaskan
seluruh gerak kehidupan semata hanya kepada Allah Ta’ala, berupa perkataan dan
perbuatan baik yang sifatnya lahir maupun batin.
Namun, dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tak jarang seorang
muslim dihadapkan oleh beraneka macam tantangan, rintangan ataupun makar. Baik
berupa halangan atau makar yang sengaja diciptakan oleh musuh-musuh Islam (kaum
kuffar), maupun yang berasal dari kaum muslimin lain yang rela atau tidak sadar
telah menjadi kaki tangan thogut dan syetan.
Demikian pula manusia itu adalah makhluk yang lemah dan rentan terhadap
ujian. Ditambah tabiat hati yang gampang terbolak-balik. Olehnya, kemungkinan tergelincir ke jurang maksiat dan dosa sangat
besar. Makanya, tidak boleh tidak, setiap muslim butuh akan konsep istiqomah
dalam hidup ini. Terlebih saat mana godaan, fitnah dan ujian telah meruap ke
permukaan hingga tak ada yang bisa lepas dari cengkramannya.
Hakekat dan
anjuran istiqomah
Istiqomah artinya tegak dan lurus serta tidak condong. Dalam artian,
sebagaimana ungkapan Umar Ibnul Khattab ra, tegar dan komit dalam menunaikan
segala perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan tuntunan Rasullullah
shallallahu alaihi wasallam. Disamping tidak condong atau menyimpang kepada
jalan-jalan lain yang menjerumuskan ke jurang kebinasaan.
Definisi ini, sebenarnya telah diisyaratkan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, tatkala membuat suatu garis
lurus dengan tangan beliau, seraya bersabda:
قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ
يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ
مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأ : { إِنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ }
“Ini adalah
jalan Allah”. Kemudian beliau membuat garis-garis lain di samping kiri dan
kanannya, dan bersabda: “Ini adalah jalan-jalan (yang lain), tidak ada satupun
darinya melainkan padanya ada syetan yang menyeru kepadanya”. Beliau lalu
membaca ayat: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus maka ikutilah dia; dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)
karena jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya”. (Qs. Al
An’am/6:153). (HR. Ahmad no: 3928, al-Hakim no: 3199, Ibnu Hibban no: 6,
berkata al-Haitsami dalam al-Majma’ 3/158: Diriwayatkan oleh Ahmad dan
al-Bazzar padanya ada perawi bernama ‘Ashim bin Bahdalah, ia perawi tsiqoh
namun ada kelemahan).
Mengingat pentingnya hal ini, maka Islam memberi perhatian yang besar dan
mengarahkan umatnya agar berpegang kepadanya. Ta’ala berfirman: “Dan
tetaplah kamu beristiqomah (berada di jalan yang benar), sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) kepada yang telah bertaubat bersama kamu dan
janganlah engkau melampaui batas”. (Qs. Huud/11:112).
Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihiwasallam kepada
seorang yang minta diajarkan satu perkataan dalam Islam yang sangat agung:
قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
“Ucapkanlah:
“Aku beriman, kemudian beristiqomahlah kamu”. (HR. Muslim no: 55, Ahmad no:
14869).
Sunnatullah,
kebenaran pasti diuji.
Abdullah Ibnu
Mas’ud berkata:
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ
وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ
وَجْهِهِ وَيَقُولُ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Seakan aku
melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam mengisahkan tentang seorang dari para
anbiya alaihi salam yang dipukuli kaumnya hingga mengeluarkan darah. Lantas
sambil menyeka darah yang mengalir menutupi wajahnya ia berdo’a: “Wahai Allah,
ampuni kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui”. (Muttafaqun alaihi).
Sabda beliau di atas, mengajak kita agar selalu merenungi sirah
perjalanan para anbiya terdahulu. Utamanya baginda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, Bahwa perjuangan da’wah mereka dahulu, dipenuhi oleh berbagai
onak dan cobaan. Tidak ada seorang rasul-pun, melainkan merasakan hal tersebut.
Dan hal itu dirasakan pula orang-orang
yang setia menyambut dan mengikuti seruan mulia mereka.
Namun onak dan rintangan itu tidak lantas membuat mereka patah semangat
dan surut ke belakang. Bahkan sebaliknya, ia melahirkan satu optimis baru,
dimana optimis tersebut terwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain,
“semakin hebat ujian dan cobaan pertanda nushrah (pertolongan) Allah Ta’ala sudah dekat”.
Syaratnya, istiqomah dan tidak putus asa.
Khabbab Ibnu Arats radhiallahu anhu berkata, kami pernah datang kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kala beliau berbaring di bawah
bayang-bayang ka’bah, lalu kami mengadukan perihal cobaan yang menimpa kami dan
berkata:
أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ
كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ
فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ
فَيُوضَعُ عَلَى
رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ
بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ
عَصَبٍ وَمَا
يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى
يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ
إِلَّا اللَّهَ أَوْ
الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
“Wahai Rasululah
tidakkah engkau berdoa kepada Allah (agar menurunkan pertolongan)?” Beliau
bersabda: “Sungguh sebelum kalian ada orang yang diserut dengan sisir besi
hingga daging tubuhnya terpisah dari tulang. Namun hal itu tidak memalingkan ia
dari agamanya. Ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji, lalu
badannya dibelah menjadi dua bagian. Namun hal itu juga tidak dapat memalingkan
ia dari agamanya. Sungguh, Allah Ta’ala akan merubah keadaan ini, hingga
seorang berkendaraan dari San’a menuju Hadramaut merasa aman, dan tidak merasa
takut melainkan hanya kepada Allah dan atas kambing-kambingnya dari terkaman
serigala. Akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa”. (HR. Bukhari no: 3343
dan Ahmad no: 20161).
Jalan Menuju
Istiqomah.
Dalam bukunya
al-Istiqomah, Syaikh Abdullah Bin Jarullah menyebutkan beberapa jalan mencapai
istiqomah:
Pertama: Taubat. Yakni, membersihkan diri dari dosa
dan maksiat, disertai perasaan menyesal serta tekad untuk tidak mengulangi
kembali. Sungguh taubat yang dikerjakan dengan ikhlas, akan melahirkan sifat
istiqomah. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubat yang nasuha (sungguh-sungguh dan tukus), semoga
Rabbmu akan menghapus kejahatan-kejahatanmu dan akan memasukkan kamu ke syurga
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”. (Qs.At thahrim/66:8).
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ
فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai
segenap manusia, bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat dalam
sehari seratus kali”. (HR. Muslim no: 4871, Ahmad no: 71714, Ibnu Hibban
no: 931).
Kedua: Muraqobah (perasaan diawasi). Dalam artian,
selalu merasakan adanya pengawasan Allah Ta’ala yang Maha Melihat lagi Maha
Mengetahui. Ingat, sifat muraqobah, jika bersemayam dalam hati, akan melahirkan
sifat ihsan yang merupakan puncak penghambaan diri seorang hamba kepada Allah
Ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“(Ihsan adalah)
engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Ia meliha mu”. (Muttafaqun alaihi).
Ketiga:
Muraqobah (perasaan diawasi). Muslim yang berakal, sebagaimana disinyalir oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah mereka yang senantiasa melakukan
intropeksi diri. Sebaliknya, lalai terhadap perbuatan yang telah dilakukan baik
berupa kebajikan atau keburukan, pertanda ia termasuk orang tertipu.
Muhasabah diri, berguna untuk mengingatkan diri sendiri tentang
kekurangan dalam perkara amal shaleh. Di samping sebagai pemberi peringatan
atas segala kelalaian dan dosa.
Alangkah indah
ungkapan Umar Ibnul Khattab radhiallahu anhu,:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا ، و زنوا أنفسكم قبل أن توزنوا
“Hitung-hitunglah
dirimu sebelum engkau dihitung. Timbanglah dirimu sebelum engkau ditimbang pada
hari kiamat kelak”. (HR. al-Tirmidzi untuk lafadz pertama no: 2383, dan
Ibnu Abi Syaibah no: 18. Syaikh al-Albani berkata dalam al-Silsilah al-Dhaifah
no: 1201: Mauquf).
Keempat: Mujahadah (bersungguh-sungguh). Artinya,
seorang muslim sadar, bahwa musuh utama yang harus ia hadapi adalah hawa
nafsunya sendiri. Lantaran hawa nafsu itu senantiasa condong kepada tindak
kejahatan dan kekejian. Allah Ta’ala berfirman: “Dan aku tidak membebaskan
diriku (dari kesalahan), sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan”. (Qs. Yusuf/12:53).
Jika demikian keadaannya, sudah tentu ia akan termotivasi bermujahadah
melawan hawa nafsu serta menolak segala ajakannya. Misalnya, tatkala nafsu
mengajak untuk bermalas-malas dalam ibadah, spontan ia menolak dan mencelanya.
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang bermujahadah
(berjuang) mencari keridhaan Kami, maka benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang
yang berbuat ihsan”. (Qs. Al Ankabut/29:69).
Kelima:
Tadabbur. Yakni memikirkan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala
di alam ini. Termasuk tadabbur akan sirah perjalanan para sholihin terdahulu.
Allah Ta’ala mengingatkan:
yxä.ur Èà)¯R
y7øn=tã ô`ÏB
Ïä!$t6/Rr& È@ß9$#
$tB àMÎm7sVçR
¾ÏmÎ/ x8y#xsèù
4 x8uä!%y`ur Îû
ÍnÉ»yd ,ysø9$#
×psàÏãöqtBur 3tø.Ïur
tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÊËÉÈ
“Dan semua kisah dari Rasul-Rasu,l Kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu”. (Qs. Huud/11:120).
Perhatikan kisah keteguhan iman tukang sihir Fir’aun tatkala
menghadapi intimidasi Fir’aun (Qs.
20:71-72). Atau keberanian Ibrahim ketika dilempar ke dalam api yang membara
(Qs. 21:69). Sudah tentu, kisah-kisah ini dapat menumbuhkan sikap istiqomah dan
teguh dalam menjalankan ajaran dien.
BAB
II
PENUTUP
Kesimpulan
- Ikhlas dalam beramal
Ikhlas dalam beramal ibadah dan amal shaleh adalah melakukan suatu amal
kebaikan, dan dalam melaksanakannya ditujukan semata-mata untuk Allah. Ikhlas
berarti kita tidak memanggil siapa pun selain Allah SWT untuk menjadi saksi
atas perbuatan kita.
- Niat
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
Hanyasanya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan hanyasanya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena
(ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori
(Bukhari) dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An
Naishaburi (Muslim), dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling
shahih yang pernah dikarang) .
Para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1.
Niat yang berkaitan dengan ibadah itu
sendiri, niat sebagai syarat sahnya ibadah.
2.
Niat yang berkaitan dengan Zat yang
disembah (objek/sasaran peribadatan) sebagai syarat diterimanya ibadah, atau
sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza
wa jalla.
- Istiqomah
Setiap muslim sadar, bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan untuk tujuan
ibadah kepada Allah. Ibadah dalam arti yang sebenarnya. Yakni, mengikhlaskan
seluruh gerak kehidupan semata hanya kepada Allah Ta’ala, berupa perkataan dan
perbuatan baik yang sifatnya lahir maupun batin.
Namun, dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tak jarang seorang
muslim dihadapkan oleh beraneka macam tantangan, rintangan ataupun makar. Baik
berupa halangan atau makar yang sengaja diciptakan oleh musuh-musuh Islam (kaum
kuffar), maupun yang berasal dari kaum muslimin lain yang rela atau tidak sadar
telah menjadi kaki tangan thogut dan syetan.
Jalan menuju istiqomah ada empat :
1.taubat
2.Muraqobah (perasaan
diawasi).
3.Muraqobah (perasaan
diawasi).
4.Mujahadah
(bersungguh-sungguh).
BAB
III
DAFTAR
PUSTAKA
Marâji’ :
1.Alqurân dan
terjemahnya.
2.riyadhu
shalihin, karya Imam Nawawi.
3.Syarhul
Arba’în an-Nawawiyyah, karya Ibnu Daqiqil ‘Ied