PUSAT MEUBLE

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI
http://Myunusblogspotcom

Jumat, 04 November 2011

IKHLAS BERAMAL


KATA PENGANTAR

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Agama Islam.
Agama  sebagai  sistem  kepercayaan  dalam  kehidupan  umat  manusia  dapat  dikaji  melalui  berbagai  sudut  pandang.  Islam  sebagai  agama  yang  telah  berkembang  selama  empat  belas  abad  lebih  menyimpan  banyak  masalah  yang  perlu  diteliti,  baik  itu  menyangkut  ajaran  dan  pemikiran  keagamaan  maupun  realitas  sosial,  politik,  ekonomi  dan  budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang kaitan ikhlas beramal, niat, dan istiqomah berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jau dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  pembimbing  saya  meminta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  saya  di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

















DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A.     IKHLAS DALAM BERAMAL......................................................................
B.     KEDUDUDKAN NIAT DALAM BERAMAL..............................................
C.     ISTIQOMAH...................................................................................................
BAB II PENUTUP....................................................................................................
Kesimpulan.............................................................................................................
BAB III DAFTAR PUSTAKA.................................................................................





























BAB I
PENDAHULUAN

A. Ikhlas Dalam Beramal
Ikhlas dalam beramal ibadah dan amal shaleh adalah melakukan suatu amal kebaikan, dan dalam melaksanakannya ditujukan semata-mata untuk Allah. Al Quran menyuruh kita ikhlas. Perhatikan firman-Nya sbb :
÷br&ur óOÏ%r& y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym Ÿwur ¨ûsðqä3s? šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÊÉÎÈ  
dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yunus [10]: 105).

Rasulullah SAW mengingatkan, Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata. (HR Abu Dawud dan Nasai). Imam Ali ra juga berkata, Orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.
Kendati bersimbah peluh, menghabiskan tenaga, menguras pikiran, kalau tidak ikhlas, sebesar apa pun amal, sia-sia di mata Allah. Maka, sangat rugi orang yang sedekah habis-habisan hanya ingin disebut dermawan.
Ikhlas berarti kita tidak memanggil siapa pun selain Allah SWT untuk menjadi saksi atas perbuatan kita.
Ikhlas akan membuat jiwa menjadi independen, merdeka, tidak dibelenggu pengharapan akan pujian, tidak haus akan imbalan. Hati menjadi tenang karena ia tidak diperbudak penantian mendapat penghargaan ataupun imbalan dari makhluk. Penantian adalah hal yang tidak nyaman, menunggu pujian atau imbalan adalah hal yang dapat meresahkan, bahkan bisa mengiris hati bila ternyata yang datang sebaliknya.. Orang yang tidak ikhlas akan banyak menemui kekecewaan dalam hidupnya, karena orang yang tidak ikhlas banyak berharap pada makhluk yang lemah.
Imbalan dari manusia tidak ada apa-apanya dibanding imbalan dari Allah SWT.
Perhatikan firman Allah SWT di surah An-Nisa [4] ayat 146 :
žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç/$s? (#qßsn=ô¹r&ur (#qßJ|ÁtGôã$#ur «!$$Î/ (#qÝÁn=÷zr&ur óOßgoYƒÏŠ ¬! šÍ´¯»s9'ré'sù yìtB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ( t$ôqyur ÏN÷sムª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# #·ô_r& $VJŠÏàtã ÇÊÍÏÈ  
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikandan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.   Subhaanallah, adakah yang lebih berharga dari pemberian Allah?

Namun dalam kehidupan ini, kadang kita memang menemukan kenyataan, kalau ternyata amal ibadah atau amal kebaikan yang kita lakukan dengan sembunyi-sembunyi dan tidak diketahui orang lain, ternyata justru kadang jadi mengundang, fitnah, gosip, omongan yang tidak enak tentang kita. Mungkin karena orang lain tidak tahu kalau sebenarnya kita ini sudah melakukan amal shaleh, amal kebaikan seperti sedekah, tapi kita menyembunyikannya karena Allah. Maka karena ketidaktahuannya, orang-orang akan menilai kita ini sebagai orang yang pelit, tidak mau sedekah, tidak mau beramal saleh.
Untuk masalah seperti ini, sebaiknya jangan kita pedulikan omongan orang pada kita. Tetap saja jaga kerahasiaan amal kebaikan kita. Jangan pedulikan pandangan orang, cukup puas saja dengan pandangan Allah terhadap kita. Dan masalah omongan atau di gunjingkan yang tidak2, yang mungkin mengatakan kita itu pelit, kikir dan sebagainya, kita serahkan semua pada Allah.
Dalam beramal saleh atau berbuat kebaikan, seperti sedekah dan lainnya, sebaiknya kita benar-benar merasa cukup hanya allah saja yang menjadi saksi dari apa yang kita lakukan,  Dan yang tidak kalah penting,  jangan sampai kita terjebak riya yang samar, seperti merasa bangga apabila kita sudah berhasil menyembunyikan amal kebaikan kita, kalau kita seperti itu, maka hancurlah amal kita.
Dalam melakukan setiap amal kebaikan, yang paling mendasar yang perlu dipahami adalah, bahwa segala amal kebaikan yang kita lakukan, itu bukanlah atas kemampuan kita sendiri, tapi itu adalah karena bantuan, pertolongan dan ijin Allah. Dengan memahami hal tersebut diatas, Insya Allah kita bisa memperbaiki amal ibadah kita dengan ikhlas, selamat dari berbangga diri karena telah berhasil melakukannya. Dan InsyaAllah bisa selamat dari riya. Serta Insya Allah, bisa melindungi kita dari keinginan mengungkapkan amal kebaikan kita dihadapan mahluk, apabila kita mendapati kenyataan diri kita digosipkan, dinilai sebagai orang yang enggan beramal kebaikan, karena kita ikhlas, maka kita menyerahkan semua pada Allah SWT.

B. KEDUDUKAN NIAT DALAM BERAMAL
            Hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ العُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِي بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ القُرشِيِّ العَدَوِيِّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - ، قَالَ : سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ - صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ - ، يقُوْلُ : (( إنّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ . رَوَاهُ إمَامَا الْمُحَدّثِينَ ، أبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بْنُ إسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ المُغيرَةِ بنِ بَرْدِزْبَهْ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ ، وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِي صَحيِْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الكُتبِ الْمُصَنَّفَةِ. ‏‏‏(‏مُتََّفَقٌ عَلَيْهِ).

Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Hanyasanya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan hanyasanya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori (Bukhari) dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi (Muslim), dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Hadits ini merupakan salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat dalam hati, ucapan dan tindakan.

Asbabul Wurud :
Ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).

Penjelasan hadits :
1.      إنّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ  “Hanyasanya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya
Berdasarkan ilmu balaghah lafadz “إنّمَا” merupakan salah satu lafadz yang berfungsi الحصر yaitu pembatas. Pembatasan disini mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat.
Definisi Amal الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf (yang terbebani). Maksud amal dalam hadits tersebut adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, amalan hati, dan amalan anggota tubuh sesuaio syari’at, sehingga setiap amal yang disyari’atkan dan dilaksanakan tanpa niat, maka tidak ada nilainya menurut agama islam. Dengan demikian shalat, shaum, wudlu dan seluruh ibadah yang lainnya tidaklah bernilai ibadah (tidak sah) tanpa adanya niat.
Definisi niat النِّيَّاتِ adalah keinginan dan kehendak hati untuk melakukan sesuatu, dan tempatnya adalah di hati, karena niat adalah amalan hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan. Maka niat yang dimaksud dalam hadits ini adalah keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah (ridha) Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.


Seperti firman Allah (QS. Ar Ruum: 38):
لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
َItulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.”

(QS. Al Lail: 20):
 إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى
Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.”
Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1.      Niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri, niat sebagai syarat sahnya ibadah. Nia dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri, sebagai syarat sahnya ibadah sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain. Contoh niat shalat dan wudlu akan berbeda.
2.Niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) sebagai syarat diterimanya ibadah, atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini.

Niat memiliki 2 fungsi:
1.Niat itu berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan (rutinitas). Contohnya : seseorang makan karena lapar untuk memenuhi kebutuhan perut, dan seseorang yang makan karena berlandaskan perintah Allah “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (al A’raaf : 31). Dari contoh diatas, maka orang yang pertama makan karena kebiasaan dan orang yang kedua makan menjadi ibadah karena memenuhi perintah Allah.
2.Niat itu berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya. Contoh : seseorang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat sholat sunnat, seseorang yang yang lain dua rakaat dengan niat sholat wajib. Maka kedua amalan tersebut dibedakan dengan niat tersebut.




Amalan apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya terbagi dua :
Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah (ridha) Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.

Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan denganmmenyebutkan ganjarannya didunia, sepertimmenyambung kekerabatan sebagaimana
Sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam "Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan."(HR. Bukhari nomor 1925, 5526)
Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam "Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199).
Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada kepada Allah, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Maka maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah semata.

2. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى Dan hanyasanya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”.

Maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya. Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi bersabda,
Makan sahurlah, sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash Shiyam/1095/Abdul Baqi])

3. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Makna Hijrah secara bahasa meninggalkan. Secara syariat adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas, mengharapkan pahala di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.

Dalam islam hijrah ada Tiga macam :
1.Berpindah dari negara kafir (syirik) kepada negara islam (tauhid), sebagaimana hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Madinah. Hukumnya di bagi menjadi dua :
Wajib : jika seseorang tidak mampu melaksanakan agamanya.
Mustahab : jika seseorang dapat menjalankan agamanya.

2.Berpindah dari negara yang diliputi ketakutan kemaksiatan kepada negara yang aman, sebagaimana hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Habasyah

3.Meninggalkan negeri bid’ah menuju negeri sunnah. Yaitu Berhijrah dari segala yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam Bukhori dari hadits Abu Nu’aim, Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam : seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.

Amal hijrah ini terus berlaku hingga akhir zaman, sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam abu daud dari hadits muawiyah rhodhiallahu’anhu, Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam : tidaklah terputus hijrah sampai terputus taubah, dan tidaklah terputus taubat sampai matahari terbit dari arah barat.

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wasallam memberikan perumpamaan suatu amalan yang dikerjakan dengan mengharap wajah Allah (ikhlas lillahi Ta’ala) dan amalan yang dikerjakan dengan mengharap kepada selain Allah, amalan tersebut adalah Hijrah.
Sebagian manusia berhijrah menginggalkan tempat tinggalnya ikhlas mengharap ridho Allah, maka hijrah ini dinilai suatu amalan yang mendapat balasan sempurna, dan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan. Sebagian manusia berhijrah karena tujuan dunia, barang siapa berhijrah dari negara kafir ke negara muslim karena uang, atau karena wanita yang hendak ia tuju, maka hijrahnya tidak karena Allah, maka rasul bersabda : maka hijrahnya sesuai dengan apa yang di tuju.
Yang tersirat dalam hadits ini juga adalah Ancaman dan peringatan akan fitnah dunia dan wanita. Allah ta’ala berfirman :"Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.".
Dikeluarkan Imam Bukhori dan Muslim dalam kedua kitabnya shohih dari sahabat Abu sa’id al khudry rhodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian sesudahku adalah dibukanya kekayaan dunia.
Hadits dari Abu sa’id yang dikeluarkan Imam muslim, Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam bersabda : takutlah kalian akan fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani israil adalah wanita.
Wallahu'alam.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / الفوائد من الحديث :
Niat merupakan syarat syah/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (Niat Ibadah., karena Allah dan mengikuti perintah Allah.).
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah. Karena amal tidaklah diterima kecuali dengan dua syarat : yaitu ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan mengikuti (sesuai sunnah) Rasul shallallahu’alaihi wasallam, sebagaiman hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha ((barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada contohnya (sebagaimana dicontohkan rosul) maka amalnya tertolak).
Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Karena yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.

Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.

C. ISTIQOMAH

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka yang berkata: “Rabb kami adalah Allah”, kemudian mereka beristiqomah, maka tak ada baginya rasa takut dan duka cita. Meraka adalah penghuni syurga kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa-apa yang mereka perbuat”. (Qs. Al Ahqaaf/46:13-14).
Setiap muslim sadar, bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Ibadah dalam arti yang sebenarnya. Yakni, mengikhlaskan seluruh gerak kehidupan semata hanya kepada Allah Ta’ala, berupa perkataan dan perbuatan baik yang sifatnya lahir maupun batin.
Namun, dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tak jarang seorang muslim dihadapkan oleh beraneka macam tantangan, rintangan ataupun makar. Baik berupa halangan atau makar yang sengaja diciptakan oleh musuh-musuh Islam (kaum kuffar), maupun yang berasal dari kaum muslimin lain yang rela atau tidak sadar telah menjadi kaki tangan thogut dan syetan.
Demikian pula manusia itu adalah makhluk yang lemah dan rentan terhadap ujian. Ditambah tabiat hati yang gampang terbolak-balik. Olehnya, kemungkinan  tergelincir ke jurang maksiat dan dosa sangat besar. Makanya, tidak boleh tidak, setiap muslim butuh akan konsep istiqomah dalam hidup ini. Terlebih saat mana godaan, fitnah dan ujian telah meruap ke permukaan hingga tak ada yang bisa lepas dari cengkramannya.

Hakekat dan anjuran istiqomah
Istiqomah artinya tegak dan lurus serta tidak condong. Dalam artian, sebagaimana ungkapan Umar Ibnul Khattab ra, tegar dan komit dalam menunaikan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan tuntunan Rasullullah shallallahu alaihi wasallam. Disamping tidak condong atau menyimpang kepada jalan-jalan lain yang menjerumuskan ke jurang kebinasaan.
Definisi ini, sebenarnya telah diisyaratkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,  tatkala membuat suatu garis lurus dengan tangan beliau, seraya bersabda:

قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأ : { إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ }
Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat garis-garis lain di samping kiri dan kanannya, dan bersabda: “Ini adalah jalan-jalan (yang lain), tidak ada satupun darinya melainkan padanya ada syetan yang menyeru kepadanya”. Beliau lalu membaca ayat: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia; dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya”. (Qs. Al An’am/6:153). (HR. Ahmad no: 3928, al-Hakim no: 3199, Ibnu Hibban no: 6, berkata al-Haitsami dalam al-Majma’ 3/158: Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar padanya ada perawi bernama ‘Ashim bin Bahdalah, ia perawi tsiqoh namun ada kelemahan).
Mengingat pentingnya hal ini, maka Islam memberi perhatian yang besar dan mengarahkan umatnya agar berpegang kepadanya. Ta’ala berfirman: “Dan tetaplah kamu beristiqomah (berada di jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) kepada yang telah bertaubat bersama kamu dan janganlah engkau melampaui batas”. (Qs. Huud/11:112).
Juga sabda  Rasulullah shallallahu alaihiwasallam kepada seorang yang minta diajarkan satu perkataan dalam Islam yang sangat agung:
قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Ucapkanlah: “Aku beriman, kemudian beristiqomahlah kamu”. (HR. Muslim no: 55, Ahmad no: 14869).
Sunnatullah, kebenaran pasti diuji.
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata:
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ
 وَجْهِهِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Seakan aku melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam mengisahkan tentang seorang dari para anbiya alaihi salam yang dipukuli kaumnya hingga mengeluarkan darah. Lantas sambil menyeka darah yang mengalir menutupi wajahnya ia berdo’a: “Wahai Allah, ampuni kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui”. (Muttafaqun alaihi).
Sabda beliau di atas, mengajak kita agar selalu merenungi sirah perjalanan para anbiya terdahulu. Utamanya baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Bahwa perjuangan da’wah mereka dahulu, dipenuhi oleh berbagai onak dan cobaan. Tidak ada seorang rasul-pun, melainkan merasakan hal tersebut. Dan hal itu  dirasakan pula orang-orang yang setia menyambut dan mengikuti seruan mulia mereka.
Namun onak dan rintangan itu tidak lantas membuat mereka patah semangat dan surut ke belakang. Bahkan sebaliknya, ia melahirkan satu optimis baru, dimana optimis tersebut terwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain, “semakin hebat ujian dan cobaan pertanda nushrah  (pertolongan) Allah Ta’ala sudah dekat”. Syaratnya, istiqomah dan tidak putus asa.
Khabbab Ibnu Arats radhiallahu anhu berkata, kami pernah datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kala beliau berbaring di bawah bayang-bayang ka’bah, lalu kami mengadukan perihal cobaan yang menimpa kami dan berkata:
أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ
 فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ
 عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ
 إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
Wahai Rasululah tidakkah engkau berdoa kepada Allah (agar menurunkan pertolongan)?” Beliau bersabda: “Sungguh sebelum kalian ada orang yang diserut dengan sisir besi hingga daging tubuhnya terpisah dari tulang. Namun hal itu tidak memalingkan ia dari agamanya. Ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji, lalu badannya dibelah menjadi dua bagian. Namun hal itu juga tidak dapat memalingkan ia dari agamanya. Sungguh, Allah Ta’ala akan merubah keadaan ini, hingga seorang berkendaraan dari San’a menuju Hadramaut merasa aman, dan tidak merasa takut melainkan hanya kepada Allah dan atas kambing-kambingnya dari terkaman serigala. Akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa”. (HR. Bukhari no: 3343 dan Ahmad no: 20161).

Jalan Menuju Istiqomah.
Dalam bukunya al-Istiqomah, Syaikh Abdullah Bin Jarullah menyebutkan beberapa jalan mencapai istiqomah:
Pertama:  Taubat. Yakni, membersihkan diri dari dosa dan maksiat, disertai perasaan menyesal serta tekad untuk tidak mengulangi kembali. Sungguh taubat yang dikerjakan dengan ikhlas, akan melahirkan sifat istiqomah. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang nasuha (sungguh-sungguh dan tukus), semoga Rabbmu akan menghapus kejahatan-kejahatanmu dan akan memasukkan kamu ke syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”. (Qs.At thahrim/66:8).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Wahai segenap manusia, bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari seratus kali”. (HR. Muslim no: 4871, Ahmad no: 71714, Ibnu Hibban no: 931).
Kedua:  Muraqobah (perasaan diawasi). Dalam artian, selalu merasakan adanya pengawasan Allah Ta’ala yang Maha Melihat lagi Maha Mengetahui. Ingat, sifat muraqobah, jika bersemayam dalam hati, akan melahirkan sifat ihsan yang merupakan puncak penghambaan diri seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia meliha mu”. (Muttafaqun alaihi).
Ketiga: Muraqobah (perasaan diawasi). Muslim yang berakal, sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah mereka yang senantiasa melakukan intropeksi diri. Sebaliknya, lalai terhadap perbuatan yang telah dilakukan baik berupa kebajikan atau keburukan, pertanda ia termasuk orang tertipu.
Muhasabah diri, berguna untuk mengingatkan diri sendiri tentang kekurangan dalam perkara amal shaleh. Di samping sebagai pemberi peringatan atas segala kelalaian dan dosa.
Alangkah indah ungkapan Umar Ibnul Khattab radhiallahu anhu,:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا ، و زنوا أنفسكم قبل أن توزنوا
Hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau dihitung. Timbanglah dirimu sebelum engkau ditimbang pada hari kiamat kelak”. (HR. al-Tirmidzi untuk lafadz pertama no: 2383, dan Ibnu Abi Syaibah no: 18. Syaikh al-Albani berkata dalam al-Silsilah al-Dhaifah no: 1201: Mauquf).
Keempat:  Mujahadah (bersungguh-sungguh). Artinya, seorang muslim sadar, bahwa musuh utama yang harus ia hadapi adalah hawa nafsunya sendiri. Lantaran hawa nafsu itu senantiasa condong kepada tindak kejahatan dan kekejian. Allah Ta’ala berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (Qs. Yusuf/12:53).
Jika demikian keadaannya, sudah tentu ia akan termotivasi bermujahadah melawan hawa nafsu serta menolak segala ajakannya. Misalnya, tatkala nafsu mengajak untuk bermalas-malas dalam ibadah, spontan ia menolak dan mencelanya. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang bermujahadah (berjuang) mencari keridhaan Kami, maka benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat ihsan”. (Qs. Al Ankabut/29:69).
Kelima: Tadabbur. Yakni memikirkan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala di alam ini. Termasuk tadabbur akan sirah perjalanan para sholihin terdahulu. Allah Ta’ala mengingatkan:
yxä.ur Èà)¯R y7øn=tã ô`ÏB Ïä!$t6/Rr& È@ߍ9$# $tB àMÎm7sVçR ¾ÏmÎ/ x8yŠ#xsèù 4 x8uä!%y`ur Îû ÍnÉ»yd ,ysø9$# ×psàÏãöqtBur 3tø.ÏŒur tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÊËÉÈ  
Dan semua kisah dari Rasul-Rasu,l Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu”. (Qs. Huud/11:120).
Perhatikan kisah keteguhan iman tukang sihir Fir’aun tatkala menghadapi  intimidasi Fir’aun (Qs. 20:71-72). Atau keberanian Ibrahim ketika dilempar ke dalam api yang membara (Qs. 21:69). Sudah tentu, kisah-kisah ini dapat menumbuhkan sikap istiqomah dan teguh dalam menjalankan ajaran dien.












BAB II
PENUTUP

Kesimpulan
  1.             Ikhlas dalam beramal
Ikhlas dalam beramal ibadah dan amal shaleh adalah melakukan suatu amal kebaikan, dan dalam melaksanakannya ditujukan semata-mata untuk Allah. Ikhlas berarti kita tidak memanggil siapa pun selain Allah SWT untuk menjadi saksi atas perbuatan kita.
  1. Niat
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Hanyasanya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan hanyasanya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori (Bukhari) dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi (Muslim), dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
Para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1.      Niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri, niat sebagai syarat sahnya ibadah.
2.      Niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) sebagai syarat diterimanya ibadah, atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

  1. Istiqomah
Setiap muslim sadar, bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Ibadah dalam arti yang sebenarnya. Yakni, mengikhlaskan seluruh gerak kehidupan semata hanya kepada Allah Ta’ala, berupa perkataan dan perbuatan baik yang sifatnya lahir maupun batin.
Namun, dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tak jarang seorang muslim dihadapkan oleh beraneka macam tantangan, rintangan ataupun makar. Baik berupa halangan atau makar yang sengaja diciptakan oleh musuh-musuh Islam (kaum kuffar), maupun yang berasal dari kaum muslimin lain yang rela atau tidak sadar telah menjadi kaki tangan thogut dan syetan.
Jalan menuju istiqomah ada empat :
1.taubat
2.Muraqobah (perasaan diawasi).
3.Muraqobah (perasaan diawasi).
4.Mujahadah (bersungguh-sungguh).
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Marâji’ :
1.Alqurân dan terjemahnya.
2.riyadhu shalihin, karya Imam Nawawi.
3.Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Ibnu Daqiqil ‘Ied